Sebelumnya mohon maaf bila postingan kali ini dianggap duplikat konten oleh om google. Memang tulisan ini pernah saya posting di blog jadul saya kala masih ngenger di wordpress. Dan karena satu dan lain hal, blog lama itu sudah saya tinggalkan dan satu per satu mulai saya boyong ke blog ini. Jadi, apa dan bagaimana remaja paruh baya itu? Ikuti saja kisahnya berikut ini dengan lengkap. Dan bagi anda-anda yang ngga punya waktu untuk membacanya sampai tuntas , dipersilahkan untuk langsung merujuk pada akhir tulisan ini, dengan resiko distorsi makna tentunya yang harus anda tanggung 😆
Secara tidak sengaja, adalah seorang teman saya yang pertama kali mengenalkan istilah remaja paruh baya ini, untuk menjelaskan sebuah proses pencarian jati diri tentang fenomena umur dan status (baca single or married). Kata orang sihhh “age is just a number” ngga tau bener tidaknya. Cuman, kalo saya menilai, ini lebih mengarah pada ketakutan buat makhluk yang bernama manusia, ketakutan masih sendiri, ketika teman-teman di sekitarnya satu persatu meninggalkan status single-nya bersama pasangannya masing-masing. Perasaan kurang beruntung pun terus menghinggapi hingga secara tanpa sadar akan membawa perasaan illfill ataupun kurang berprestasi untuk masalah yang satu ini. Apakah anda juga merasakannya?
Dan sebuah kebetulan juga, ketika saya baru saja telah menyelesaikan sebuah proyek buku tulisan Riri Sardjono berjudul Marriagable – Gue mau nikah asal. Buku yang bercerita tentang kegamangan seorang cewek metropolitan, yang hingga usia 32 tahun belum juga menemukan tambatan hati, hingga sang mama pun merasa harus menjodohkan dia dengan Datuk Maringgi abad 21. Anekdot yang cukup menarik ketika si anak menolak, dan proses selanjutnya pun sudah bisa ditebak, dengan berbagai intrik dan peristiwa yang dituliskan dengan gaya anak muda jaman sekarang, cukup membuat kita hanyut dan tertantang untuk menghabiskan halaman demi halaman novel ini.
Lalu apa hubungan novel dan remaja paruh baya, sesuai dengan judul tulisan di atas. Saya coba menangkap apa yang dimaksud penulis novel itu, adalah sebuah realitas yang sering kita jumpai pada kehidupan sehari-hari, ketika kita menjumpai beberapa orang dianggap kurang beruntung kala usia nya beranjak dewasa, namun belum juga membentuk sebuah keluarga. Sering kita dengar ucapan “usiamu sudah cukup tuh untuk kawin”, atau guyonan seperti ini “emang mau jadi perawan tua”.
Pada umumnya masyarakat kita masih mengukur pada umur seseorang, dan bukan pada aspek maturity atau yang lebih kita kenal sebagai kedewasaan. Hingga tak heran banyak kasus perceraian terjadi karena ternyata banyak pasangan yang siap secara umur, namun belum tentu siap secara mental. Dan ini semua kembali pada diri kita masing-masing, seberapa dewasakah kita? Hingga cukup mampu mengambil keputusan untuk memasuki jenjang kehidupan selanjutnya, yaitu berbagi dengan pasanganmu dalam bingkai yang bernama pernikahan. Bukankah pernikahan adalah waktu yang lama untuk cinta?
Marriages maybe made in heaven, but a lot of the details have to be worked out here on earth – Gloria Pitzer.
You get married not to be happy but to make each other happy – Roy I. Smith.